Wednesday, July 29, 2009

Anak dan Tanggung Jawab Kita

Oleh BAMBANG QOMARUZZAMAN

Seorang teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu hari
dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti biasa,sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui zebra-cross. Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi; kecuali seorang ibu
dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan,
terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia tinggalkan.
"Hei..hei... ke Sini!!". Kira-kira begitu teriakan ibu itu.

Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi
sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti
ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu
itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross?
Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya melanggar
peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar peraturan
itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"

Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia
melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu
yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih
mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu, begitu
pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjagadalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?

Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang
tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di
sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah.
"Mudah-mudahan anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak.

Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram, lebih
tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80, saya
sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes,
dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu, mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!" Tetangga
saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja.
"Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!"

Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena
ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar
sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang
menerimanya adalah guru yang terhormat. Marilah kita bandingkan sikap
dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah
rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan kasih
saying yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah
menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu.
Racun itu adalah, 1) uang bisa menyelesaikan segalanya;
2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bisa
menambalnya.

Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar
kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan
anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat
di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat.
Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan
yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani.

Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini
datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu
tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk
membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu
harus berada di sini, menjemput bapak!" ujar sang ayah. Pada jam yang
ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum
juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak datang
dan mengajukan permohonan maafnya.

"Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu,
bawalah pulang. Saya akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa
bersalah. Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil
berpesan,"Mengingka ri janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini,
kamu sudah melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu
semua Karena saya salah mengajarimu, nak. Karena itu biarlah ayah menghukum
diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang
anak tak pernah lagi mengingkari janji.

Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita pada Hari Anak.
Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai
amanah (titipan) dari Allah? Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan)
Allah".Padaistilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang
sedemikian akrab,Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan
sesuatu yang berharga.Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai awalnya.
Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.

Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga
pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar "membuat
bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu
rapuh,butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai
takaran.Kecenderung an benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik
kecil bisa saja ditipu --diberi cahaya palsu-- dan memercayainya seumur
hidup.

Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak
pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi.
Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima
benih fithrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi fithrah yang
lebih baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak
ada yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang
anak.
Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu,
telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan
mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan
baik.

Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan
mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama ini
telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan
pertengkaran,
serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon ampunan
pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik.

Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!***

Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

No comments: