Oleh Andrianto Soekarnen
Di awal 1970-an, setelah gagal di tingkat dua Reed College Portland, Oregon, Steve Jobs pergi berkelana, mencari pencerahan, ke India. Ia telah menjual semua miliknya. Di Negara Anak Benua itu, Jobs merasakan sendiri kemiskinan.
Ia juga mengunjungi seorang guru yang ternyata lebih tertarik pada seks ketimbang agama. Dan, akhirnya, ia nyaris mati di sebuah selokan karena terjadi banjir bandang. Maka, lelaki 19 tahun itu mendapat pencerahan.
Ternyata, karya Thomas Edison lebih berguna ketimbang semua agama di Dunia Timur digabungkan.
Kembali Cupertino di Lembah Silikon, California, Jobs menemui sahabatnya, Steve Wozniak. Keduanya memang klop, suka ugal-ugalan dan seenaknya. Tapi, Woz yang kuper punya satu keistimewaan, yakni mahir elektronika. Lelaki gempal itu hidup di alam semikonduktor dan silikon, pameran ilmiah, klub elektronika, dan toko suku cadang bekas.
Pada 1975, Woz kebetulan melihat pengumuman pertemuan klub komputer. "Apakah kamu ingin membuat komputer sendiri," kata iklan itu. Woz pun bergabung dengan Homebrew Club dan berkumpul dengan sesama wirehead (sebutan bagi para penggemar elektronika). Ia segera bisa menggambar skema komputer sendiri.
Waktu itu, mikroprosesor (rangkaian otak dari komputer) telah dijual secara luas.
Suatu kali, Jobs menemani Woz ke Homebrew. Ia terpesona oleh antusiasme dan jumlah para wirehead. Ia melihat peluang bisnis. Jobs segera meyakinkan Woz untuk berjualan komputer. Proyek awal mereka adalah membuat sebuah papan "kit" pemroses sentral. Kit itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan asalkan ditambahi rangkaian dan program tambahan. Tugas yang terakhir itu diserahkan kepada pembeli, yaitu para wirehead tadi.
Jobs dan Woz menyebut bisnis mereka Apple Computer (sama dengan titel album rekaman The Beatles) dan menamakan produk mereka Apple I. Untuk mendanai usaha itu, Jobs menjual Volkswagen-nya seharga $1.300 dan Woz (yang saat itu bekerja di perusahaan Hewlett-Packard) menjual kalkulator HP 35 miliknya seharga $200. Mereka bekerja di garasi rumah Jobs.
Apple I lumayan sukses. Sebuah toko elektronika, Byte Shop, bersedia membeli 50 buat kit dengan total harga $25.000, sebuah angka yang sangat banyak bagi Jobs dan Woz. Pada akhirnya, Apple I terjual 200 unit.
Ketika mengikuti pameran komputer di Atlantic City, pada 1976, Jobs sadar bahwa, jika ingin maju, ia harus menciptakan sesuatu yang jauh lebih berdaya guna. Waktu itu, hanya sedikit pengunjung berhenti di stand Apple. Jobs memperkirakan Apple membutuhkan 3 hal: komputer yang lebih baik, publisitas, dan modal. Ia segera mengupayakan ketiganya.
Untuk publisitas, Jobs mengontak ahli humas dan pemasaran Regs McKenna. Dana datang dari mantan karyawan Intel, Mike Markkula. Soal komputer, mereka menciptakan Apple II. Selain teknologinya yang canggih, perangkat itu memiliki desain yang ciamik (sesatu yang akan menjadi ciri khas Apple).
Keistimewaan lain, Apple II bisa dihubungkan ke televisi sehingga pembeli bisa mendapat tampilan grafik berwarna (waktu itu, layar monitor umumnya masih dua warna: dasar hitam dengan karakter hijau menyala).
Berkat sukses Apple II, perusahaan tersebut siap masuk bursa saham. Waktu itu, modal ventura Xerox (raksasa pembuat mesin fotocopy) berniat ikut masuk Apple. Jobs memberi syarat. Xerox boleh masuk Apple asal ia dibiarkan melihat-lihat Xerox Palo Alto Research Center (Xerox PARC).
Xerox PARC yang terletak tak jauh dari kampus Stanford University merupakan lembaga riset swasta ternama. Ia bertujuan mengembangkan teknologi untuk kantor masa depan. Tempat itu mengumpulkan lulusan universitas tercerdas dan membebaskan mereka melakukan apapun yang diinginkan.
Ketika berjalan-jalan di Xerox PARC, pandangan anak-anak Apple segera terbuka. Mereka menemukan apa yang di kemudian hari akan dikenal sebagai windows. Teknik itu memanfaatkan tampilan grafis sebagai medium komunikasi antara pengguna dengan komputer. (Selama ini, komunikasi sebatas dilakukan melalui perintah yang diketikan.)
Jobs segera mengadopsi prinsip windows untuk komputer Apple terbaru. Tapi, produk itu ternyata tak akan pernah sukses secara komersial. Malah, konsep tersebut kemudian ditiru lagi oleh Microsoft. Revolusi digital memasuki tahapan baru, yakni era perangkat lunak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment